Beberapa tahun lalu, saya dipertemukan dengan seorang kawan yang begitu
bangga akan kisah kepahlawanan dan kegemilangan mahapatih Gajahmada.
Bertukar kisah tentang Perang Bubat. Obrolan ini cukup menginspirasi dan
jadi masukan baru buat saya yang memang selama ini akrab dengan kisah
ini.
Kisah Perang Bubat yang saya akrabi adalah sebuah naskah naratif karya kang Hadi Aks, merupakan saduran dari novel dengan judul yang sama karya Pak Yoseph Iskandar. Beberapa kali dipentaskan dalam Nyiar Lumar.
Tahun ini, menjelang kali ke-10 Nyiar Lumar, Perang Bubat akan dipentaskan kembali. Seperti tulisan saya dengan tema yang sama 2 tahun lalu, ini bukan untuk memelihara dendam. Ini hanya sebuah ungkapan kebanggaan akan romantisme sejarah.
Kali ini, saya dipertemukan dengan seseorang yang cukup inspiratif. Ia adalah seorang Bali, Putu Ipan, begitu ia biasa dipanggil. Dari perbincangan singkat, tersirat sebuah ide untuk menambahkan sebuah adegan dalam pagelaran. Sebuah adegan rekonsiliasi antara perwakilan dari Majapahit kepada orang Sunda disaksikan oleh perwakilan dari Bali. Saya pikir, ini dahysat. Meskipin kita mafhum, beberapa waktu lalu pernah saya dengar, langkah rekonsiliasi itu pernah dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat dengan kanjeng Sultan Yogyakarta, dan pemerintah provinsi Jawa Timur.
Tetapi ini lain ceritanya, tidak seperti apa yang dilakukan pemerintah, bahkan bukan untuk mempertebal apa yang dilakukannya. Ini sebuah harmoni budaya. Pendekatannya pun lain, pendekatan kesenian. Akan ada moment kolaborasi. Dan ini adalah pengalaman dan kebanggaan baru bagi saya dan juga bagi anak-anak yang tergabung dengan ikhlas dalam garapan ini.
Yang lebih memberanikan saya, adalah keiklasan dan kebanggaan kawan-kawan pemain, kesaktian dan romantisme kang Ayi Itah Purnama beserta para nayaga dan kegagahan serta keajaiban para kru artistik Raga Rahayu Dipura Dewa Rec Bobong To Chuy's Creators Perikitiew Fahmy Husnulyaqin Aris Widia Sulaksana. Dan tentu dorongan dan jiad dari mahaguru kakang perbu Godi Suwarna.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan segenap keberanian, Perang Bubat akan kembali terjadi di Nyiar Lumar 2018
Kisah Perang Bubat yang saya akrabi adalah sebuah naskah naratif karya kang Hadi Aks, merupakan saduran dari novel dengan judul yang sama karya Pak Yoseph Iskandar. Beberapa kali dipentaskan dalam Nyiar Lumar.
Tahun ini, menjelang kali ke-10 Nyiar Lumar, Perang Bubat akan dipentaskan kembali. Seperti tulisan saya dengan tema yang sama 2 tahun lalu, ini bukan untuk memelihara dendam. Ini hanya sebuah ungkapan kebanggaan akan romantisme sejarah.
Kali ini, saya dipertemukan dengan seseorang yang cukup inspiratif. Ia adalah seorang Bali, Putu Ipan, begitu ia biasa dipanggil. Dari perbincangan singkat, tersirat sebuah ide untuk menambahkan sebuah adegan dalam pagelaran. Sebuah adegan rekonsiliasi antara perwakilan dari Majapahit kepada orang Sunda disaksikan oleh perwakilan dari Bali. Saya pikir, ini dahysat. Meskipin kita mafhum, beberapa waktu lalu pernah saya dengar, langkah rekonsiliasi itu pernah dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat dengan kanjeng Sultan Yogyakarta, dan pemerintah provinsi Jawa Timur.
Tetapi ini lain ceritanya, tidak seperti apa yang dilakukan pemerintah, bahkan bukan untuk mempertebal apa yang dilakukannya. Ini sebuah harmoni budaya. Pendekatannya pun lain, pendekatan kesenian. Akan ada moment kolaborasi. Dan ini adalah pengalaman dan kebanggaan baru bagi saya dan juga bagi anak-anak yang tergabung dengan ikhlas dalam garapan ini.
Yang lebih memberanikan saya, adalah keiklasan dan kebanggaan kawan-kawan pemain, kesaktian dan romantisme kang Ayi Itah Purnama beserta para nayaga dan kegagahan serta keajaiban para kru artistik Raga Rahayu Dipura Dewa Rec Bobong To Chuy's Creators Perikitiew Fahmy Husnulyaqin Aris Widia Sulaksana. Dan tentu dorongan dan jiad dari mahaguru kakang perbu Godi Suwarna.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan segenap keberanian, Perang Bubat akan kembali terjadi di Nyiar Lumar 2018
0 komentar:
Post a Comment