-->
thumbnail

Patilasan Penyebaran Islam di Desa Kawali

Posted by NURDANI on Thursday, October 4, 2018

Kawali, sebuah tempat dengan nama yang melegenda. Kawali pernah tercatat sebagai Pusat pemerintahan kerajaan Galuh sejak tahun 1333 M sampai dengan 1482 M. Nama Kawali disebut pada dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Niskala Wastukancana yang tersimpan di situs Astana Gede Kawali. Prasasti tersebut menyebut dan “nu ngeusi bhagya Kawali” (yang mengisi Kawali dengan kebahagiaan).
Dalam sejarahnya, Kawali telah melahirkan raja-raja besar yang memerintah tatar Sunda-Galuh. Mereka diantaranya, Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Prabu Jaya Dewata (Sribaduga Maharaja atau Prabu Siliwangi).
Pada tahun 1482 masehi, Jaya Dewata dinobatkan sebagai Raja Galuh di karaton Surawisesa Kawali sebagai purasaba (pusat kota) kerajaan Galuh. Pada tahun yang sama, Jayadewata di Purasaba Pakuan dinobatkan sebagai Raja Sunda menggantikan pamannya sekaligus mertua, yaitu Prabu Susuk Tunggal.
Setelah menyandang jabatan Raja dari dua kerajaan besar –Galuh dan Sunda, Prabu Jaya Dewata (Sribaduga Maharaja/Prabu Siliwangi) memilih menetap di Pakuan. Dengan begitu Pakuan menjadi Purasaba Sunda-Galuh dan kemudian berganti nama menjadi Pakuan Pajajaran.
Setelah Prabu Jaya Dewata/ Prabu Siliwangi memindahkan pusat kekuasaanya ke Pakuan, Kerajaan Galuh di Kawali hanya menjadi sebuah kandaga lante (kerajaan bawahan).
Kawali kemudian diperintah oleh Sang Ningratwangi pada tahun 1482 – 1507 M. Setelah Ningratwangi wafat, kemudian diteruskan putranya Prabu Jayaningrat pada tahun 1507 – 1529 M.

Situs Penyebar Islam di Kawali 

Ketika tahun 1529 M Kerajaan Galuh ( Kawali ) tunduk pada kesultanan Cirebon. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menempatkan Dalem Dungkut (1529 – 1575 M), anak Prabu Langlang Buana (Raja Kuningan), menggantikan Prabu Jayaningrat (penguasa terakhir Kerajaan Galuh Kawali) untuk memerintah dan menyebarkan Agama Islam di Kawali.
Pada masa inilah menjadi permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali.

a. Patilasan Mas Palembang 

Setelah Dalem Dungkut wafat, Pangeran Bangsit atau Mas Palembang ( 1575 – 1592 M ) melanjutkan pemerintahan serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali.
Pangeran Bangsit adalah putra Dalem Dungkut. Pangeran Bangsit wafat pada tahun 1592 M dan dimakamkan disebuah tempat yang kini dikenal dengan situs Makam Keramat Mas Palembang. Selanjutnya pemerintahan dan penyebaran agama Islam dilakukan oleh Pangeran Mahadikusumah atau dikenal dengan gelar Maharaja Kawali pada tahun 1592 – 1643 M.
Pangeran Mahadikusumah adalah putera Pangeran Bangsit cucu dari Dalem Dungkut. Beliau adalah salah satu ulama yang dipercaya Kesultanan Cirebon. Pada masa ini, dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah sekitar lainnya.

b. Patilasan Astana Gede 

Kawali dibawah kekuasaan Kesultanan Cirebon dan penyebaran agama Islam, memberikan perubahan cukup besar pada Kondisi dan situasi wilayah serta penduduk Kawali. Seperti halnya keberadaan situs Linggahyang (Astana Gede Kawali), pada mulanya merupakan situs dengan Prasasti peninggalan Kerajaan Galuh pada masa Prabu Niskala Wastu Kancana, kemudian berbaur dengan makam para penyebar Agama Islam di Kawali.
Ada 11 buah makam di, situs Astana Gede. Yang pertama adalah Makam Pangeran Usman. Makam ini panjangnya 2,93 m. Pangeran Usman adalah keturunan Sultan Cirebon, menantu Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah), yang memerintah Kawali tahun 1592-1643 M.
Pangeran Usman adalah salah seorang penyebar Islam di daerah Kawali. Makam lainnya adalah Makam Adipati Singacala, terletak di bagian atas punden berundak.
Dalem Adipati Singacala menjadi Bupati Kawali pada tahun 1643- 1718 M, Ia juga salah satu tokoh penyebar Islam di Kawali. Adipati Singacala adalah cicit Pangeran Bangsit atau Mas Palembang (ayah Maharaja Kawali). Ia menikahi Nyi Anjungsari, putri Pangeran Usman. Nyi Anjungsari pun dimakamkan di Situs Astana Gede.
Setelah Adipati Singacala wafat pada tahun 1718 M, pemerintahan dan penyebaran Islam kemudian dilanjutkan oleh Dalem Satia Meta / Darma Wulan pada tahun 1718 – 1745 M. Ia adalah anak dari Adipati Singacala.
Dalem Satia Meta / Darma Wulan dimakamkan di Astana Gede, berdekatan dengan makam adiknya yaitu Baya Nagasari. Serta masih ada beberapa makam lain yang dianggap keramat diantaranya makam Cakra Kusumah (seorang guru mengaji pada zaman Adipati Singacala), Eyang Sancang (salah seorang pengawal dan penjaga keamanan kabupatian Kawali).
Di samping itu, ada 3 makam Kuncen Astana Gede (Angga Direja, Yuda Praja, Sacapraja), dan makam Surya Wiradikusumah.

c. Patilasan Selapajang 

Selepas masa Dalem Satia Meta / Darma Wulan ( 1718 – 1745 M ), pemerintahan dan penyebaran Islam di Kawali kemudian dilanjutkan oleh Rd. Adipati Mangkupraja I ( 1745 – 1772 M ). Adipati Mangkupraja I wafat dan dimakamkan di Selapajang.

d. Patilasan Gunung Indrayasa 

Kemudian dilanjutkan Rd. Adipati Mangkupraja II (1772 – 1801 M) dan Rd. Adipati Mangkuparaja III (1801 – 1810 M) dan diteruskan oleh Suradipraja I dan Suradipraja II. Mereka kemudian dimakamkan di Gunung Indrayasa.
Disamping itu, terdapat pula beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh pada masanya.
Diantaranya Eyang Sacapada, Eyang Mas Bagus dan Eyang Japar Sidik.

e. Patilasan Pasarean 

Eyang Sacapada diyakini sebagai salah satu penyebar islam di Kawali. Eyang Sacapada dimakamkan di sebuah kawasan yang dinyatakan sebagai kawasan ekosistem esensial atau kawasan Perlindungan Setempat, dikenal dengan Situs Makam Keramat Pasarean, berdampingan dengan istrinya yaitu Ibu Andayasari.
Situs Makam Keramat Pasarean terletak di dusun Banjarwaru desa Kawali dengan luas kawasan mencapai 1,10 Ha.

f. Patilasan Gandok 

Sementara, tak jauh dari kawasan Situs Makam Keramat Pasarean, tepatnya di sebuah lingkungan yang disebut Gandok, terdapat sebuah makam keramat.
Di situs makam keramat ini disemayamkan salah satu tokoh yang dianggap paling muda dari tokoh-tokoh lainnya. Beliau dikenal dengan panggilan Eyang Mas Bagus.
Meskipun dikenal termuda diantara tokoh-tokoh penyebar Islam sezaman dengan Eyang Sacapada, Eyang Mas Bagus juga diyakini memiliki pengaruh yang sama dengan yang lain.

g. Patilasan Japar Sidik 

Diantara makam keramat yang ada di Desa Kawali, satu lagi yang dianggap berpengaruh pada zamannya adalah Situs Makam Keramat Japar Sidik.
Di makam yang letaknya dipinggir jalan raya yang mengabadikan namanya, dipusarakan salah satu tokoh yang sezaman dengan Eyang Sacapada dan juga Eyang Mas Bagus. Ia dikenal dengan nama Eyang Japar Sidik.
Menurut riwayat, Eyang Japar Sidik adalah salah seorang Penyebar Islam dengan mendirikan sebuah surau sebagai tempat belajar mengaji dan kanuragan anak-anak Kawali pada masa itu.
7:14:00 AM
thumbnail

Misteri Bebegig SukamantriDalam Festival Bebegig Nusantara 2017

Posted by NURDANI on Monday, July 31, 2017

Oleh : Didon Nurdani
Saya bukan pituin Sukamantri, juga bukan pelaku kesenian Bebegig. Hanya saja saya sedikit tahu dan pernah menyaksikan langsung meskipun hanya sekali dua kali, bagaimana kawan-kawan pelaku seni helaran bebegig berjuang dengan penuh keiklahasan untuk menghidupkan (ngahirup-huripkeun) Kesenian Bebegig, bersimbah peluh mempersiapkan kostum dari bahan-bahan yang tidak bisa dijumpai disetiap tempat, yang begitu memukau ketika dikenakan. Pada saat helaran tiba, kemudian kita hanya tinggal pose dengan berbagai gaya untuk selfi dengan Bebegig, dan bila sempat mengucapkan terimakasih, kemudian diunggah di media social dan memasang caption seenak kita.
Festival Bebegig Nusantara 2017 dalam rangkaian Hari Jadi Kabupaten Ciamis ke – 375 telah usai digelar, Minggu 23 Juli 2017. Event terselenggara dengan meriah, menghadirkan berbagai bentuk kesenian yang berkembang di Kabupaten Ciamis, diantaranya Rajah Galuh, pencak silat, terutama mengusung kesenian helaran Bebegig Sukamantri. Lebih dari 100 buah topeng Bebegig Sukamantri dihadirkan. Festival dipungkas dengan penampilan Setia Band.
Festival Bebegig Nusantara 2017 atas prakarsa Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif patut diacungi jempol. Karena ini merupakan upaya nyata pengakuan dan revitalisasi Seni Helaran Bebegig Sukamantri sebagai ikon seni dan budaya di Kabupaten Ciamis.
Catatan prestasi dari seni helaran ini telah berkali-kali mengharumkan Ciamis di level regional maupun nasional. Bebegig Sukamatri yang dimotori oleh pelaku-pelaku seni bebegig dari komunitas seni Baladdewa pada tahun 2016 telah mengukuhkan diri sebagai Juara I tingkat Nasional Festival Kemilau Nusantara.
Jadi sudah selayaknya jika Festival Bebegig Nusantara 2017 digelar dengan dukungan penuh oleh pemerintah Kabupaten Ciamis. Ini merupakan momentum aktualisasi Bebegig di daerah asalnya, setelah bebegig diakui dan selalu diundang pada acara-acara helaran di kabupaten-kota di Jawa Barat hingga Bali. Sebuah pengakuan dan penghargaan dari orang tuanya “pituin” di rumahnya sendiri.
Ini menjadi “kareueus” bagi saya sebagai warga biasa yang kebetulan suka dengan kesenian. Terus terang, ini menjadi harapan besar dan juga ekspektasi yang begitu “wah !” ketika membaca tajuknya.
Betapa hal ini bisa jadi sebuah pijakan besar, sebidang fondasi kuat untuk perkembangan kesenian dan kebudayaan khususnya seni helaran Bebegig Sukamantri.
Hanya saja, dalam event ini, atmosfir seni bebegig kurang begitu terasa. Satu hal yang patut disayangkan adalah tidak adanya helaran yang dilakukan oleh kelompok Bebegig. Biasanya Seni Bebegig melakukan helaran mengelilingi kota diiringi dengan dugig yaitu tabuhan khas para nayaganya. Silih berganti dengan bunyi kolotok, gesekan bubuay, hahapaan serta daun waregu. Interaksi sosok menyeramkan tapi mengundang penasaran, bercengkrama langsung dengan masyarakat yang dijumpai ditengah perjalanan helaran, adalah sebuah peristiwa hidup dan dihidupkannya Bebegig Sukamantri.
Tapi hal itu tidak terjadi. Dan tentu masih banyak lagi hal yang tidak terjadi dalam setiap peristiwa helaran Bebegig.
Terlebih lagi, dari pelaksanaan Festival Bebegig Nusantara 2017, kurangnya upaya sosialisasi kepada masyarakat tentang apa sesungguhnya sosok Bebegig, bagaimana sejarahnya dan apa latar belakang serta manfaat yang dirasakan dengan kehadiran sosok Bebegig ini.
Memang ada pagelaran di panggung dengan cerita yang cukup memberikan informasi tentang apa, bagaimana serta sejarah & perkembangan kesenian Bebegig Sukamantri. Namun itu terlalu sederhana. Bebegig Sukamantri harusnya jadi “panganten”. Kokojo, aura dominan, bintang panggung yang menjadi perhatian utama. Bahkan sounding oleh MC atau ditayangkan profile singkatnya di big screen yang jadi latar belakang panggung megah dan gemerlap pun dirasa tidak maksimal.
Jika tidak cukup waktu persiapan karena memang perlu produksi yang tidak sederhana, kenapa tidak sekalian saja panggil tokoh-tokoh yang menjadi penggerak dan pelaku kesenian Bebegig Sukamatri ke atas panggung untuk menerangkan dialog langsung dengan masyarakat ?
Bukankah itu lebih efisien ?
Selebihnya keberadaan topeng hanya menjadi set dekor dengan pencahayaan yang minim. Bahkan keberadaanya kalah jauh berperan daripada penempatan speaker soundsystem.
Interpretasi awam ketika mendengar kata “Bebegig” yang tergambar dibenak saya adalah orang-orangan sawah. Kemudian ketika melihat sosoknya ternyata begitu menyeramkan. Sederhananya adalah sosok “hantu” atau Jurig. Tapi anehnya sosok menyeramkan tersebut justru bisa berinteraksi mesra dengan masyarakat ?
Ini menjadi masalah yang cukup berpengaruh ketika kesenian Bebegig memang benar-benar diharapkan sebagai ikon seni & budaya di Kabupaten Ciamis dan di usung dalam Festival (yang rencananya) digelar tahunan dengan judul semegah ini.
Bagaimana bisa sesuatu yang kadung dianggap buruk dijadikan ikon ?
Interpetasi seperti inilah yang perlu segera diluruskan. Mungkin sudah banyak sumber-sumber yang terunggah di internet dan teraktualisasi di media massa. Sudah banyak fihak yang tahu, bahkan faham betul dengan Bebegig Sukamantri. Kenapa tidak dijadikan rujukan ?
Eksistensi bebegig masih sangat perlu untuk digali dan disosialisasikan kepada masyarakat. Tentu hal ini perlu dilakukan untuk mempertebal pengakuan dan rasa memiliki masyarakat Ciamis sehingga Sosok Bebebig Sukamantri benar-benar menjadi ikon Ciamis yang sejati.
Dan akhirnya, tulisan ini semoga menjadi apresiasi positif, setidaknya menjadi bahan perenungan kita semua yang merasa kesenian dan kebudayaan bermanfaat dalam kehidupan dan meningkatkan “ajen” masyarakat dan pemerintahan Kabupaten Ciamis.
Semoga Festival Bebegig Nusantara bisa terus digelar ( apanjang-apunjung ), “teu ngabuntut bangkong”, dan Bebegig Sukamantri benar-benar menjadi ikon seni & budaya di Kabupaten Ciamis.
1:42:00 PM
thumbnail

Carita Parahiyangan

Posted by NURDANI on Tuesday, October 15, 2013

I
Ndéh nihan Carita Parahiyangan. Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra. Rajaputra miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan.Ngangaranan manéh Rahiyangta Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun pancaputra; Sang Apatiyan Sang Kusika, Sang Garga Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun.

II
Hana paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, nyayang di titrayatra Bagawat Resi Makandria. Dihakan anakna ku salakina. Diseuseul ku éwéna. Carék éwéna, “Papa urang, lamun urang teu dianak, jeueung Bagawat Resi Makandria. Ditapa sotéh papa, ja hanteu dianak.” Carék Bagawat Resi Makandria, “Dianak ku waya, ja éwé ogé hanteu.” Ti inya carék Bagawat Resi Makandria, “Aing dék leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kéndan.” Datang siya ka Kéndan. Carék Sang Resi Guru, “Na naha siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?” – “Pun samapun, aya béja kami pun, kami ménta pirabieun pun. Kéna kami kapupulihan ku Paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang hanteu di na anak.” Carék Sang Resi Guru, “Leumpang siya ti heula ka batur siya deui, anaking Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, na pideungeuneun satapa, anaking.” Leumpang Pwah Rababu, datang ka baturna, teu diaku rabi. Nyeueung inya wedadari geulis, ti inya nyieun manéh Pwah Manjangandara, na Bagawat Resi Makandria nyieun manéh Rakéyan Kebowulan, sida pasanggaman. Carék Sang Resi Guru, “Étén anaking, Pwah Sanghiyang Sri! Leumpang kita ngajadi ka lanceuk siya, ka Pwah Aksari Jabung.” Ti inya leumpang Pwah Sanghiyang Sri ngajadi, inya Pwah Bungatak Mangaléngalé.

III
Carék Sang Mangukuhan, “Nam adiing kalih, urang ngaboro leumpang ka tegal.” Sadatang ka tengah tegal, kasampak Pwah Manjangandara deung Rakéyan Kebowulan. Digérékeun ku sang pancaputra; beunangna samaya, asing nu numbak inya ti heula, nu ngeunaan inya, piratueun. Keuna ku tumbak Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara. Lumpat ka patapaanana, datang paéh. Dituturkeun ku Sang Wretikandayun. Pwah Bungatak Mangaléngalé kasondong nginang deung Pwah Manjangandara; ku Sang Wretikandayun dibaan pulang ka Galuh, ka Rahiyangta ri Medangjati.

IV
Lawasniya adeg ratu lima welas tahun, disilihan ku Sang Wretikandayun di Galuh, mirabi Pwah Bungatak Mangaléngalé. Na Sang Mangukuhan nyieun manéh panghuma; Sang Karungkalah nyieun manéh panggérék, Sang Katungmaralah nyieun manéh panyadap; Sang Sandanggreba nyieun manéh padagang. Ku Sang Wretikandayun diadegkeun Sang Mangukuhan, Rahiyangtang Kulikuli ; sang Karungkalah diadegkeun Rahiyangtang Surawulan ; Sang Katungmaralah diadegkeun Rahiyangtang Pelesawi ; Sang Sandanggreba diadegkeun Rahiyangtang Rawunglangit. Sang Wretikandayun adeg di Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan manéh Rahiyangta ri Menir. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, inya nu nyieunna Purbatisti. Lawasniya ratu salapan puluh tahun. Disilihan ku Rahiyangtang Kulikuli, lawasniya ratu dalapan puluh tahun. Disilihan ku Rahiyangtang Sarawulan, lawasniya ratu genep tahun, katujuhna panteg kana goréng twah. Disilihan ku Rahiyangtang Rawunglangit, lawasniya adeg ratu genep puluh tahun.

V
Disilihan ku Rahiyangtang Mandiminyak. Seuweu Rahiyangta ri Menir, teluan sapilanceukan; anu cikal nya Rahiyang Sempakwaja, adeg Batara Dangiyang Guru di Galunggung; Rahiyangtang Kedul, adeg Batara Hiyang Buyut di Denuh; Rahiyangtang Mandiminyak adeg di Galuh. Carék Sang Resi Guru, “Karunya aing ka Rahiyang Sempakwaja hanteu diboga éwé. Anaking Pwah Rababu! Kita leumpang husir Rahiyang Sempakwaja, kéna inya pideungeuneun siya satapa.” Sang Resi ngagisik tipulung jadi jalalang bodas, leumpang ngahusir Rahiyang Sempakwaja, eukeur melit. Carék Rahiyang Sempakwaja, “Na naha jalalang bodas éta ?” Top sumpit. Nya mana dihusir, dék nyumpit inya. Kapanggih Pwah Rababu eukeur mandi di Sanghiyang Talaga Candana. Carék Rahiyang Sempakwaja, “Ti mana kéh, éta nu mandi ?” Éta diléléd sampingna ku sumpit. Beunang diléléd. Aya deungeunna Pwah Aksari kalih, tuluy lalumpatan ka tegal. Pwah Rababu dicokot ku Rahiyang Sempakwaja, dipirabi, dikasiahan na Pwah Rababu. Nya mana diseuweu, inya Rahiyang Purbasora, Rahiyang Demunawan, dwaan sapilanceukan.

VI
Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon, tatabeuhan di Galuh. Pulang ka Galuh teter nu ngigel. Sadatang ka buruan ageung, carék Rahiyangtang Mandiminyak, “Sang Apatih, na saha éta?” “Béjana nu ngigel di buruan ageung.” “Éta bawa sinjang saparagi, iweu kéh pamalaan aing. Téhér bawa ku kita keudeukeudeu!” Leumpang sang apatih ka buruan ageung, dibaan ka kadatwan na Pwah Rababu. Dipirabi ku Rahiyangtang Mandiminyak, dirabi kasiahan na Pwah rababu. Diseuweu patemuan, dingaranan Sang Salah.

VII
Carék Rahiyang Sempakwaja, “Rababu leumpang! Ku siya bwatkeun budak éta ka Rahiyangtang Mandiminyak. Anteurkeun patemuan siya Sang Salahtwah.” Leumpang Pwah Rababu ka Galuh. “Aing dititah ku Rahiyang Sempakwaja mwatkeun budak éta, beunang siya ngeudeungeudeu aing téh.” Carék Rahiyangtang Mandiminyak, “Anak aing tu kita, Sang Salah.” Carék Rahiyangtang Mandiminyak, “Sang Apatih, ku siya teundeun kana jambangan. Bawa ka tegal!” Dibawa ku sang apatih ka tegal, sapamungkur sang apatih, ti tegal metu ikang aprama tog ka langit, kabireungeuh ku Rahiyangtang Mandiminyak. “Sang Apatih, husir deui teundeun siya, budak ta!” Dihusir ku sang apatih ka tegal, kasondong hirup. Dibaan ka hareupeun Rahiyangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sénna.

VIII
Lawasniya ratu tujuh tahun. Na Rahiyangtang Mandiminyak disilihan ku Sang Séna. Lawasniya ratu tujuh tahun, disilih-jungkat ku Rahiyang Purbasora. Na Sang Séna diintarkeun ka Gunung Marapi, diseuweu Rakéyan Jambri. Ageung sakamantrian, lunga ka Rahiyangtang Kedul, ka Denuh, ménta dibunikeun. Carék Rahiyangtang Kedul, “Putu aing mumul kapangkukan ku siya, sugan siya kanyahoan ku ti Galuh. Leumpang siya husir Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan, deung anak saha tu siya?” Carék Rakéyan Jambri, “Aing anak Rahiyang Sang Séna. Dijungkat, diintarkeun ku Rahiyang Purbasora.” “Lamun kitu, mawa boga kami ngasuhan. Ngan mulah mo sambut samaya aing. Moga ulah meunang prangan; lamun siya ngalaga prang ka kami. Ngan siya leumpang maratkeun, husir Tohaan di Sunda.” Sadatang ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti inya ditinggalkeun, ngahusir Rabuyut Sawal. Carék Rabuyut Sawal, “Saha siya?” “Aing pun seuweu Sang Séna. Aing nanyakeun pustaka bawa Rabuyut Sawal. Eusina ma ratuning bala sariwu; pakeun séda, pakeun sakti, paméré Sang Resi Guru.” Dibikeun ku Rabuyut Sawal. Ti inya pulang ka Galuh Rakéyan Jambri. Tuluy diprang deung Rahiyang Purbasora. Paéh Rahiyang Purbasora. Lawasniya ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéyan Jambri, inya Rahiyang Sanjaya.

IX
Carék Rahiyang Sanjaya, “Sang Apatih, leumpang siya, nanya ka Batara Dangiyang Guru ku piparintaheun urang inih!” Sadatang sang apatih ka Galunggung, carék Batara Dangiyang Guru, “Na naha béja siya, Sang Apatih?” “Pun, kami dititah ku Rahiyang Sanjaya ménta piparintaheun, adi Rahiyang Purbasora.” Hanteu dibikeun ku Batara Dangiyang Guru. Carék Batara Dangiyang Guru, “Rahiyang Sanjaya, leumpang nyandogé manéh. Éléhkeun Guruhaji Pagerwesi, éléhkeun Guruhaji Mananggul, éléhkeun Guruhaji Tepus, éléhkeun Guruhaji Balitar. Lunga Rahiyang Sanjaya ; éléhkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan. Nyandogé na kasaktian, kénana ta Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan, hanteu kawisésa Dangiyang Guru. Mana ingéléhkeun, inya sakti.” Rahiyang Sanjaya ka Kuningan, tuluy diprang. Éléh Rahiyang Sanjaya. Digérékan, teka ring loh Kuningan, undur Rahiyang Sanjaya. “Dara aing para dinih, digérékan. Éléh pun kami.” Ti inya pulang deui ka Galuh, Rahiyang Sanjaya. Sang Wulan, Sang Tumanggal pulang deui ka Arilé. Rahiyang Sanjaya tuluy marék ka Batara Dangiyang Guru. Carék Batara Dangiyang Guru, “Rahiyang Sanjaya, naha béja siya datang ka dinih?” “Aya pun béja kami, pun kami dipiwarang, éléh pun kami, supén pun kami. Kami meunang ku jadi, pun gumanti diboroan ku Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan.” Pulang deui Rahiyang Sanjaya ka Galuh.

X
Carék Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang pandawa ring Kuningan, “Mawa pisajieun leumpang ka Galunggung, widihan sajugala ma, palangka wulung, munding satempahan, bras sapadangan.” Sateka siya ka Galunggung, mandeg ring Pakembangan. Kasondong ku Pakembangan, majar ka Batara Dangiyang Guru. Carék Dangiyang Guru, “Naha béja siya ?” “Pun Batara Dangiyang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan.” “Bagéa amat, siya datang ka dinih. Leumpang siya ka Galuh. Ala Rahiyang Sanjaya, mangka mawa pisajieun; widihan sajugala ma, saha palangka wulung, munding satémpahan, kawali wesi, bras sapadangan.” Sadatang siya ka Galuh, carék Rahiyang Sanjaya, “Naha béja siya, Pakembangan?” “Kami pun disuruh ku Dangiyang Guru. Rahiyang Sanjaya mangka nu sangkep mawa pisajieun. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan.” Lunga Rahiyang Sanjaya. Téka ri hareupeun Dangiyang Guru, carék Batara Dangiyang Guru, “Rahiyang Sanjaya! Lamun kawisésa ku siya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan, aing nurut carék siya. Ja beunang ku aing kawisésa, turut carékéng! Ja aing wenang nuduh tan katuduh. Ja aing anak déwata.” Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan kawisésa ku Batara Dangiyang Guru. Sang Wulan dijieun Guruhaji Kajaron. Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha. Sang Puki jadi Guruhaji Pagerwesi. Sang Manisri dijieun Buyuthadén Rahaséa, di Puntang. Buyuthadén Tunjungputih di Kahuripan. Buyuthadén Sumajajah di Pagajahan. Buyuthadén Pasugihan di Batur. Buyuthadén Padurungan di Lembuhuyu. Buyuthadén Darongdong di Balaraja. Buyuthadén Pager gunung di Muntur. Buyuthadén Muladarma di Parahiyangan. Buyuthadén Batutihang di Kuningan.

XI
Rahiyang Sanjaya kawekasan ring Medang. Ratu ring Galuh, Sang Seuweukarma. Ikang ari ratu Galuh, mananem sarwijagih Dadalem gawey puja, lilir désa, séwabakti ring Batara Upati. Rahiyangtang Wéréh, maka siya dingaran Rahiyangtang Wéréh, masa siya tinggal anak sapilanceukan. Rahiyangtang Kedul wurung ngadeg haji, kena rohang, ja mangka ngaran Rahiyang Sempakwaja. Rahiyangtang Kedul wurung ngadeg ratu kena kemir, ngaran mangadeg Wikuraja. Siya jadi Tohaan di Kuningan, anakna ditapa, tu siya seuweu Rahiyang Sempakwaja. Ujar Rahiyang Sanjaya, “Sama sanak ring aing aki! Lamun kitu ma karah. Ulah anggeus narahan aing aki, sang apatih!” Ujar sang apatih, “Mangka dapet deui urang nyayangan Sanghiyang Darmasiksa, mulah mo déngé!” Carékna patih kalih ka Rahiyang Sanjaya, “Lamun dék jaya prangrang, mangkat ti Galuh!” Prangrang ka Mananggul, éléh sang ratu Mananggul, Pwanala panulak sanjata. Tuluy ka Kahuripan, diprangrang, éléh Kahuripan, na Rahiyangtang Wulukapeu nungkul. Tuluy ka Kadul, diprangrang, éléh Rahiyang Supena, nungkul. Tuluy ka Balitar, diprang, éléh sang ratu Bima. Ti inya Rahiyang Sanjaya nyabrang ka désa Malayu. Diprang di Kemir, éléh Rahiyangtang Gana. Diprang deui ka Keling, éléh Sang Sriwijaya. Diprangrang ka Barus, éléh Ratu Jayadana. Diprang ka Cina, éléh Patih Sarikaladarma. Pulang Rahiyang Sanjaya ka Galuh ti sabrang. Ndéh humeneng.

XII
Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma diArile, diheueumdeungna para patih; gusti winekasan pangajaran kaparamartan. “Nam urang marek, mawa tanggung ka Rahiyang Sanjaya. Mupu omas sakati, gangsal (buhniya), bawaeun urang ka Rahiyang Sanjaya.” Ti inya diheueum deui di Galuh deu(ng) para patih kali(h). “Nam, urang nyieun labur di jalan gedé pakeun nyungsung Sang Seuweukarma, ja turut Rahiyangtang Kuku.” Sateka ka sisi(m)pang(an) ka Galuh deung ka Galunggung, disungsung, disocaan. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Sang apatih, bawa kami marék ka Rahiyang Sanjaya. Ornas sakati, gangsal boéhniya.” Ujar sang apatih, “Pun Tohaan! Hanteu dipilarang na omas na beusi ku Rahiyang Sanjaya, hengan huripna urang réa dipilarang.” Andéh kahimengan Rabiyangtang Kuku, pulang deui ka Arile. Diheueum deungna para patih kalih. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Na naha pakeun urang bakti ka Rahiyang Sanjaya?”

XIII
Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja. Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan. Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan, seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh. Dayeuh paradayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan. Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir. Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling. Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahingadegkeun haji sang manitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena mikukuh tapak Dangiyang Kuning. Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, “Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang ?. Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang, dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu dibéré nyahoan, daék lunga.” Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun bakti ka Rahiyangtang Kuku. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka dinih?” Ujar sang apatih, “Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka dinih. Saha nu diwastu dijieun ratu?” Carék Rahiyangtang Kuku, “U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya.” Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, “Aki, kumaha carék Rahiyangtang Kuku ka urang?” “Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, gawayangkeun awak carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang sarwa kaputraan, urang deung Tohaan pahi anak déwata. Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana tangkarah, “Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata sang sapta ratu na caturyuga.” “Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan, Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya.” Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata. “Urang ka nusa Demba!” Data sira lunga balayar. Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik tukangeun Sang Siwiragati. Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari. Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku. Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari. Manguni : “Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?” Tuluy ka Galuh ka Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten. Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton, mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih. Tanyana: “Mana?” “Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring dalem hanteu pulang deui. Dah Rahiyang Sanjaya: “Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah : “Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.” Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah. Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.” Lawasniya ratu salapan tahun, disiliban ku Rahiyang Tamperan.

XV
Tembey Sang Resi Guru ngayuga taraju Jawadipa, taraju ma inya Gulunggung, Jawa ma ti wétan. Di pamana Sunda hana pandita sakti, ngaraniya Bagawat Sajalajala, pinejahan tanpa dosa. Mangjanma inya Sang Manarah, anak Rahiyang Tamperan, dwa sapilanceukan denung Rahiyang Banga. Sang Manarah males hutang; Rahiyang Tamperan sinikep deneng anaknira. Ku Sang Manarah dipanjara wesi na Rahiyang Tamperan. Datang Rahiyang Banga, ceurik, teher mawakeun sekul kana panjara wesi, kanyahoan ku Sang Manarah. Tuluy diprangrang deung Rahiyang Banga. Keuna mukana Rahiyang Banga ku Sang Manarah. Ti inya Sang Manarah adeg ratu di Jawa pawwatan. Carék Jawana, Rahiyang Tamperan lawasniya adeg ratu tujuh tahun, kena twah siya bogoh ngarusak nu ditapa, mana siya hanteu heubeul adeg ratu. Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dalapanpuluh tahun, kena rampés na agama. Sang Manisri lawas adeg ratu geneppuluh tahun, kena isis di Sanghiyang Siksa. Sang Tariwulan lawasniya ratu tujuh tahun. Sang Welengan lawasniya ratu tujuh tahun.

XVI
Ndéh nihan tembey Sang Resi Guru miseuweukeun Sang Haliwungan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakwan reujeung Sanghiyang Haluwesi, nu nyaeuran Sanghiyang Rancamaya. Mijilna ti [42] Sanghiyang Rancamaya : “Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiyang banaspati.” Sang Susuktunggal inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu haji di Pakwan Pajajaran. Nu mikadatwan Sri – bima -untarayanamadura – suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata. Kawekasan Sang Susuktunggal, pawwatanna lemah suksi, lemah hadi, mangka premana raja utama. Lawasniya ratu saratus tahun.

XVII
Rahiyang Banga lawasnia ratu tujuh tahun, kena twah siya, mo makéyan agama bener. Rakéyanta ri Medang lawasniya adeg ratu tujuh tahun. Rakéyanta Diwus lawasniya ratu opatlikur tahun. Rakéyanta Wuwus lawasniya ratu tujuhpuluhdua tahun. Sang lumahing Hujung Cariang, lawasniya ratu telu tahun, kaopatna panteg kena salah twah, daék ngala éwé sama éwé. Rakéyan Gendang lawaniya ratu telulikur tahun. Déwa Sanghiyang lawasniya ratu tujuh tahun. Prebu Sanghiyang lawasniya ratu sawelas tahun. Prebu Ditiya Maharaja lawasniya ratu tujuh tahun. Sang lumahing Winduraja lawasniya ratu telulikur tahun. Sang lumahing Kreta lawasniya ratu salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah rampés, turun na kretayuga. Disiliban deui ku Sang lumahing Winduruja, teu heubeul adeg, lawasniya ratu dalapanwelas tahun. Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan. Ti naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan Sanghiyang Siksa. Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun. Manak Sang lumahing Taman lawasniya ratu genep tahun. Manak deui Sang lumahing Tanjung, lawasnija ratu dalapan tahun. Manak Sang lumahing Kikis, lawasniya ratu dwalikur tahun. Sang lumahing Kiding, lawasniya ratu sapuluh tahun. Manak Aki Kolot, lawasniya ratu sapuluh tahun.

XVIII
Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretajuga. Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai. Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pak é, basa nu wastu dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata. Nu di tiru ogé paké Sanghiyang Indra, ruku ta. Sakitu, sugan aya nu d ék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daé k él éh ku satmata. Mana na kretajuga, él éh ku nu ngasuh. Nya mana sang rama énak mangan, sang resi é nak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas. Ku b éét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan énak lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu énak-énak,ngalungguh di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku énak ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya. Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.

XIX
Disilihan ku Prebu, naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring Rancamaya, lawasniya ratu telu puluh salapan tahun. Purbatisti, purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tang lor, kidul, kulon, wétan, kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa.

XX
Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padaré n, kasuran, kadiran, kuwamén. Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu. Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka Medangkahiyangan. Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana. Lawasniya ratu opatwelas tahun.

XXI
Prebu Ratudé wata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu. Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka. Datang na bancana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang. Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. Hana sang pandita sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya. Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan. Samangkana ta précinta. Prebu Ratudé wata, lawasniya ratu dalapan tahun, kasalapan panteg hanca dina bwana.

XXII
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.

XXIII
Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.

XXIV
Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manga nugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan. Lawasniya ratu kampa kalayan pangan, ta tan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan beunghar. Lawasniya ratu genepwelas tahun.

XXV
Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. Prang ka Rajagaluh, élé h na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.

***
Sumber : Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Atja, Jajasan Kebudajaan Nusalarang, Bandung – 1968.
9:55:00 PM
thumbnail

Biarkan “Perang Bubat” Berlanjut

Posted by Unknown on Friday, August 9, 2013

Oleh : Eddy D. Iskandar
(Penulis Skenario/Ketua Umum FFB)

UMUMNYA sejarah “Perang Bubat” yang diungkapkan dalam bentuk novel atau prosa liris, hampir sama, menceritakan tentang gagalnya pernikahan Dyah Pitaloka (Citraresmi) dengan Hayam Wuruk akibat pengkhianatan Mahapatih Gajah Mada. Tokoh Gajah Mada menjadi sosok yang dibenci urang Sunda karena Gajah Mada dianggap berkhianat kepada rajanya, Prabu Hayam Wuruk.

Dengan tipu daya untuk menyulut amarah Linggabuwana, Gajah Mada meminta agar Pitaloka – yang tadinya akan dijadikan permaisuri Hayam Wuruk, agar diserahkan sebagai upeti. Gajah Madalah yang mengobarkan api peperangan, ketika hati Maharaja Linggabuwana (ayah Pitaloka) terluka, merasa dihina dan direndahkan, lalu memilih untuk melawan karena tidak mau menyerahkan putrinya sebagai upeti. Peperangan yang tak seimbang itu, tentu saja lebih merupakan sebuah pembantaian. Maharaja Linggabuwana, permaisuri, dan pasukan pengawalnya gugur di Bubat. Sementara Pitaloka memilih bunuh diri demi harga diri. Satu-satunya pengawal yang berhasil lolos adalah Pitar. Kisah tragis itu membuat banyak urang Sunda yang kanyenyerian, sakit hati, dan perasaan itu tetap terpelihara, hingga sekarang.

Menurut arkeolog lulusan Uiversitas Indonesia, Dr. Agus Aris Munandar, umumnya cerita tentang Perang Bubat yang mengilhami para penulis fiksi sejarah, bersumber dari buku Kidung Sunda. Akan tetapi, salah seorang pengarang yang paling banyak menulis fiksi berdasarkan peristiwa dalam sejarah Sunda, Yoseph Iskandar, termasuk novelnya mengenai Perang Bubat, menyebut sumbernya berdasarkan naskah “Pangeran Wangsakerta”.

Ketika berlangsung “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan, Jawa Timur, tanggal 30 September lalu, Dr. Agus Aris Munandar menyampaikan tafsir baru mengenai Perang Bubat. Menurut Agus, rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Pitaloka bukanlah atas prakarsa Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi. Pernikahan itu justru telah direncanakan Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuwana. Gajah Mada menginginkan pernikahan itu, sebab niatnya untuk mempersatukan Sunda dengan Majapahit akan terwujud tanpa harus melalui peperangan. Hal yang sama juga diharapkan oleh Maharaja Linggabuwana karena pernikahan itu akan membuat wilayah Kerajaan Sunda semakin luas.

Lalu kenapa Gajah Mada berkhianat? Inilah yang dianggap sebagai tafsir baru Agus. Ternyata tanpa sepengetahuan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, diam-diam orang tua Hayam Wuruk (Cakradara/ Tribhuwanatunggadewi) telah menjodohkan Hayam Wuruk dengan Padukasori, putri Kudamerta/Rajadewi Maharasasa. Rajadewi adalah adik Tribhuwanatunggadewi. Kudamerta yang mendengar Gajah Mada telah melamar Pitaloka sebagai permaisuri Hayam Wuruk, berhasil memengaruhi Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi untuk menggagalkan pernikahan tersebut. Gajah Mada terpaksa mengikuti kemauan orang tua Hayam Wuruk, mengubah posisi Pitaloka yang tadinya sebagai permaisuri, menjadi selir. Sikap Gajah Mada tersebut dirasakan Maharaja Linggabuwana sebagai penghinaan padahal Gajah Mada sendiri merasa sedih harus berbuat seperti itu. Maharaja memilih untuk berperang daripada menyerahkan putrinya sebagai selir. Maka terjadilah Perang Bubat. Akibatnya, menurut Agus, “Gajah Mada disalahkan oleh sejarah”.

Dalam Dialog Budaya di Trowulan, saya mempertanyakan tentang sebutan Perang Bubat, karena ada yang berpendapat, yang terjadi di Bubat itu bukanlah perang, tetapi lebih layak disebut pembantaian terhadap Raja Sunda bersama pengawalnya – sebab jumlah pasukan Gajah Mada dan pengawal Raja Sunda tidak berimbang. Akan tetapi menurut Agus, dalam semua naskah kuno, selalu disebut adanya Pabubat atau Perang Bubat. Sementara itu, wartawan senior Her Suganda lebih suka menyebutnya sebagai “Peristiwa Bubat”.

Dalam “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” yang berlangsung tanggal 21 Oktober di Hotel Preanger, Agus menyampaikan tafsir barunya itu di hadapan sejumlah tokoh Sunda. Reaksinya, ada yang bisa mendengarkan dan memahami tafsir baru tersebut, tetapi ada juga yang tetap meyakini Gajah Mada sebagai tokoh yang telah berkhianat, dengan segala kelicikannya untuk menaklukkan Sunda.


Karakter kepemimpinan

Ketika saya menulis prosa liris yang diberi judul “Citraresmi – Riwayat Menyayat Perang Bubat” (diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama), saya mengungkapkan peristiwa di Bubat itu seperti yang diyakini umumnya masyarakat Sunda selama ini. Tidak ada tafsir baru seperti Dr. Agus.

Kalaupun boleh disebut sebagai tafsir baru, melalui buku tersebut saya lebih menitikberatkan terhadap karakteristik tokoh-tokoh utama dalam Peristiwa Bubat itu, sebab dengan cara seperti itu kita akan lebih jernih “memahami” sepak terjang mereka.

Tokoh utama yang saya maksud adalah Gajah Mada, Hayam Wuruk, Pitaloka, Maharaja Linggabuwana, dan Bunisora Suradipati. Dalam prolog buku tersebut, saya ungkapkan seperti ini:

“Siapakah yang bersalah?
ketika masing-masing punya jawaban
untuk mewujudkan keinginan
Hayam Wuruk yang bijaksana
tapi kurang berani mewujudkan keinginan
Gajah Mada yang setia mengabdi pada negri
tapi terikat dan termakan sumpah sendiri

Maharaja Linggabuwana yang tulus dan lurus
tapi tak mampu membaca rekaperdaya
Citraresmi yang cantik dan berbakti
tapi terlalu setia mengikuti kata hati

Masing-masing memang punya alas an
untuk memilih yang terbaik
berbakti bagi negri

Biarkan sejarah bicara
apa adanya
mari kita buka kembali
lembaran silam yang kelam
dengan hati yang bening”.

Dalam buku prosa liris tentang Peristiwa Bubat itu, saya mempertajam “mahadaya cinta” antara Hayam Wuruk dan Pitaloka, termasuk mendramatisasi kematian Raja Sunda dan Pitaloka, sehingga akan tergambar sikap Gajah Mada yang “menghalalkan segala cara” untuk mewujudkan sumpah amukti palapanya.

Akan tetapi, Gajah Mada adalah seorang perwira tangguh yang punya prinsip harus “selalu menang dalam perang”. Prinsip itu ia dedikasikan untuk kehormatan raja dan kejayaan negeri. Dari sisi ini, sesungguhnya kita harus bisa memahami karakter Gajah Mada. Ketika Hayam Wuruk bersikukuh ingin menjemput Raja Sunda dan Pitaloka dengan upacara kebesaran, Gajah Mada juga berusaha keras untuk menggagalkannya. Saya mencoba mengungkapkannya secara imajinatif melalui sebuah ratapan permohonan:

“Tolonglah hamba, Paduka
jangan biarkan hamba melanggar sumpah
yang akan menodai pengabdian
pada kebesaran raja dan Negara
selama ini hamba tak pernah memohon balas jasa
dan tak pernah menuntut apa pun
karena pengabdian hamba lakukan
dengan ketulusan hati nurani
demi kejayaan negri
tapi hanya untuk kali ini saja
izinkan hamba untuk memohon
Paduka tak usah menyambut ke Tegal Bubat
biarkan hamba yang dating
menyambut tamu agung
calon prameswari baginda, Puteri Citraresmi”.

Hayam Wuruk akhirnya luluh, dan Gajah Mada diam-diam mengerahkan ribuan pasukannya menuju Bubat. Ia meminta Raja Sunda agar menyerahkan Pitaloka jadi upeti. Lalu terjadilah Peristiwa Bubat itu.

Maharaja Linggabuwana, saya gambarkan sebagai raja yang berpikiran lurus, tidak “punya pikir rangkepan”, tidak bisa membaca rekaperdaya. Ketika diingatkan oleh adiknya Bunisora Suradipati agar jangan pergi ke Majapahit, jangan mau menyerahkan Pitaloka untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk, sebab kalau Raja datang untuk menyerahkan putrinya, berarti ia telah melanggar adat Karuhun. Menurut Bunisora, semestinya Hayam Wuruk yang datang ke Kerajaan Sunda untuk menikah dengan Pitaloka. Peringatan Bunisora malah ditentang oleh Linggabuwana, meskipun dalam hatinya ia merasa telah melakukan sesuatu yang tidak semestinya.

Saya sangat tertarik mengungkapkan karakter Bunisora, yang saya anggap lebih pantas disebut sebagai “Bapak Bangsa”. Terbukti setelah Peristiwa Bubat, calon raja yang masih kecil, Niskala Wastukancana (adik Pitaloka) dididik oleh Bunisora, dipersiapkan untuk menjadi seorang raja yang kelak memang menjadi raja terlama dalam memerintah, sekitar 100 tahun. Dalam epilog buku tersebut, saya menggambarkan sosok Bunisora seperti ini:

“Akan halnya Bunisora
ia menjadi begitu berjasa
karena telah belajar dari peristiwa kelam
tanpa menebarkan dendam
melainkan telah mewariskan keteladanan
yang kelak mengantar Niskala Wastukancana
menjadi raja yang paling lama berkuasa
raja yang menebarkan rasa aman dan tenteram”.

Hayam Wuruk dan Pitaloka adalah dua tokoh belia, yang saya gambarkan lebih suka “menuruti keinginan orang tua”.

Peristiwa Bubat adalah kejadian sejarah, dan akan lebih terasa hikmahnya bila digunakan sebagai tempat untuk becermin. Pemahaman kita tentang Peristiwa Bubat akan lebih jernih seandainya kita memosisikan diri untuk belajar dari peristiwa tersebut, termasuk memahami tokoh-tokoh pelakunya, memahami karakternya. Sebaiknya kita memahami mengapa Gajah Mada, Linggabuwana, Hayam Wuruk, dan Pitaloka, memutuskan sesuatu yang dianggapnya “harus dilakukan”, dan kemudian menjadi mata rantai sebab akibat Peristiwa Bubat. Saya mencoba mengungkapkannya seperti ini:

“Demikianlah kisah yang terpatri
di sanubari orang Sunda
melekat turun-temurun
dari masa ke masa
kadang dipahami
sebagai suatu pantangan
yang berlebihan
Padahal kalau kita simak
dengan sikap yang bijak
maka akan Nampak
begitu banyak
tokoh pelaku sejarah
dalam Perang Bubat
yang teguh pada pendirian
dengan segala kelebihan
dan kelemahan”.

Dengan sudut pandang seperti itu, setiap peristiwa bersejarah akan dipahami sebagai rangkaian pembelajaran, tanpa harus terlibat dalam perasaan yang dialami tokoh-tokohnya. Begitu juga, ketika kemudian ditemukan hal-hal baru berdasarkan bukti-bukti ilmiah, maka akan selalu menjadi sesuatu yang berharga untuk dikaji.

Kalau kemudian ada yang bertanya, setujukah Anda jika Peristiwa Bubat dibuat film? Saya akan bilang setuju, tentu saja dengan catatan, film tersebut harus digarap dengan sungguh-sungguh, sehingga hasilnya menjadi sebuah karya yang bisa dibanggakan, apalagi kalau menjadi sebuah karya yang monumental. Kalau hasilnya hanya untuk meraih keuntungan semata, tanpa memedulikan kualitas – bahkan ke luar jalur, wajar bila banyak yang merasa keberatan.

Terjadinya kontroversi tentang Peristiwa Bubat, apakah itu munculnya tafsir baru atau kisah baru, tidaklah menjadi soal sepanjang itu berdasarkan penemuan-penemuan autentik yang bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Terlebih lagi, jika itu labelnya sebuah fiksi, maka pengarang akan lebih bebas mengumbar imajinasi.

Biarkan, bila banyak yang tertambat terhadap Peristiwa Bubat. Dengan begitu, generasi berikutnya akan mengenal bahkan memahami peristiwa bersejarah secara kritis.


*Sumber PR
11:23:00 AM
thumbnail

Wasiat Mahaprabu Wastu Kancana

Posted by NURDANI on Wednesday, December 5, 2012

Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byakta warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.

Kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta ;
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta ;
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta ;
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta ;
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta ;
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta ;
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta ;
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta ;
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta ;
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta ;
sang disi pageuh di kadisianna, kreta ;
sang rama pageuh di karamaanna, kreta ;
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.
Ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.

(Teguhan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejahteralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan).

Demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera.

Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejahtera.

Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai ahli gamelan, akan sejahtera.

Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai ahli seni rupa, akan sejahtera.

Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejahtera.

Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera.

Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejahtera.

Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejahtera.

Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera.

Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera.

Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejahtera.

Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera.

Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera.

Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera.

Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahtera.

Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejatera.

Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera.

Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera.

Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera.

Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejahtera.
Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejahtera.

Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia).




Wasiat Wastu Kencana dari naskah Sanghyang siksakanda (Koropak 630)
5:43:00 AM
thumbnail

Nyiar Luang Tina Wayang

Posted by Unknown on Thursday, November 1, 2012



Kenging : Godi Suwarna dina Fiksimini Basa Sunda


Tangtos pada uninga, réh seni wayang, boh sastrana boh wanda pagelaranana, seueur naker mangaruhan kasenian-kasenian jaman kiwari. Wayang aya dina senirupa, seni tari, musik, téater, sastra. Para seniman ti rupa-rupa widang seni bangun nu teu kendat-kendat kailhaman ku wayang, ti bihari tug ka kiwari. Hartosna, wayang ngandung ajén-inajén seni nu adiluhung, nu teu luntur ku panéka mangsa. Tapi, sakumaha dina hirupkumbuh kasenian-kasenian sanésna, seni wayang tangtos nyorang lébér jeung orotna.

Seni wayang kungsi dalit dina kahirupan sapopoé. Ulah pon para pinisepuh nu resep mesék palasipah wayang, bari ngalarapkeun dina kahirupan sadidintenna, dalah barudak satepak ogé kungsi méh prah mikaresep wayang. Untung nanakeran sim uing mah ngalaman pisan. Harita, dina taun genep puluhan di lembur, sim uing saparakanca teu weléh gung clo. Pintonan di kampung, di désa mana baé ogé teu weléh dijugjug. Lalajo nyaan, daria ngabarandungan. Sanés mung sakadar ngariung di tukang suuk bari megat muntah mojang. Jalaran bari daria, tangtos kana nyerep naker. Paling copél barisa nurutan pok-pokan Dorna, Dursasana, Arjuna, Gatotkaca jeung Si Cépot.  

Harita, tina bakating ku resep téa, ampir saban babaturan garaduh wayang tina daluang. Aya papada budak nu sok nyieun jeung ngajualanana, wayang-wayang daluang nu nyeta-nyeta wayang kulit. Nya lumayan wé keur budak nu barisa nyieun mah, bisa gaduh uang saku ladang kabisa sorangan, paling copél wareg ku kadaharan ladang barter jeung kabisa. Lian ti ngoléksi wayang daluang, barudak téh sok pirajeunan ogé nyarieun wayang tina palapah daun sampeu, tina taneuh porang, tina pendul peuteuy, tina kembang wéra jrrd. Tina bakat kuresep téa, lajeng diéksprésikeun ku bahan nu aya di alam sabudeureun kahirupan barudak. Hasilna téh nya karancagéan barudak jaman harita, nu boa upama disalésér mah ngandung ajén inajén seni nu kawilang luhung. Mun teu tingdarekul nyieun wawayangan, sim uing saparakanca sok pirajeunan maén sandiwara carita wayang. Papakéan saaya-aya. Siger jeung badong bisa tina kalakay daun kulur, atawa tina daun kadaka, susumping tina daun nangka.  

Basa sim uing keur budak, kaleresan pun Bapa téh kagunganeun buku pedaran wayang golék yasana bujangga Sunda, Kangjeng MA. Salmun, suargi. Buku nu saé kacida. Perkawis rupining teknis wayang golék, dipedar ku gaya basa Sunda nu matak pogot macana. Gaya populér mun ceuk jaman kiwari téa mah. Tong boro ku Pun Bapa nu lebet kolom bujangga lembur, dalah ku sim uing nu bolon kénéh, éta buku téh éstu digulanggaper, dibaca dibulak-balik. Ma’lum bolon, harita sim uing ngaraos nu panghatamna bag-bagan wayang dibanding jeung babaturan.

Sanggeus bisa kurung-karang, sim uing mindeng nyieun carpon atawa sajak nu nyaritakeun wayang. Buku kumpulan sajak sim uing nu munggaran dijudulan Jagat Alit, dipedalkeun ku pamedal Rahmat Cijulang taun 1979. Jagat Alit téh minangka sajak bubuka dina éta buku kumpulan sajak. Hiji sajak nu mapandékeun kahirupan kana pagelaran wayang. Sajak-sajak lianna medar kahirupan ti kawit lahir, lalampahan, asih sinareng pati, bagja miwah guligah manusa, nungtung dina kasadaran kana takdir nu teu bisa dipungkir téa. Gambar jilidna gé mangrupa gugunungan wayang, yasana pelukis kawentar, Pa Popo Iskandar. Aya bagja nanakeran gambar jilid kenging anjeunna téh. Sesah miwarang anjeunna ngagambar jilid téh. Bané wé sim uing mah harita téh kalebet mantu kameumeutna, ceuk sim uing nu teu weléh-weléh gé-ér.

Dina taun juh puluhan ahir, sim uing kungsi ngarang carpon nu judulna Uwak-Awik, dimuat dina majalah Manglé, jaman sim uing keur sumedeng belekesenteng. Nyaritakeun perkawis wayang-wayang golék nu geus bosen, nu geus capé balas diwayang-wayangkeun baé ku Dalang. Wayang-wayang nu baruntak ka Dalangna. Teu wudu éta carpon téh kenging réaksi ti balaréa. Dina Manglé, Kang Enas Mabarti nyawang Uwak-Awik tina jihad inajén sastra, nembrakeun onjoy jeung héngkérna éta carpon. Aya deui nu nyerat dina Mangle kénéh, majar sim uing murtad. Kritikan nu direumbeuy ku dalil-dalil. Nanging, sim uing yakin yén nu ngamurtadkeun téh teu ngaos dugi ka tamat, atanapi teu ngartos kana jero-jeroning Uwak-Awik. Padahal, dina tungtung éta carpon, sim uing nyaritakeun wayang golék nu ancur lebur, dicacag ku Dalangna.

Beuki resep wé ngarang perkara wayang téh. Sabada buku kumpulan sajak Jagat Alit, sim uing ngadeker nyieunan sajak nu tokoh-tokohna wayang. Aya kana lima puluh sajakna, dikumpulkeun, dijudulan Urat-Urat Kawat, naskahna dikirimkeun ka salah sahiji pamedal. Hanjakal teu kungsi terbit. Naskahna gé kalah leungit tanpa lebih ilang tanpa karana di éta pamedal. Tapi perkawis wayang mah angger sok disabit-sabit dina buku kumpulan sajak sim uing ka dieunakeun, di antarana dina buku kumpulan sajak Surat-Surat Kaliwat jeung Blues Kéré lauk..

Dina nyarponkeun carita wayang, rumaos sim uing téh tara tukuh kana babon. Kalan-kalan ngahaja dibulak-balik. Upamina baé, Déwi Sinta nu micinta Rahwana jalaran Rama karaos kirang buméla. Rahwana nu babalik pikir alatan cinta sajati ka Déwi Sinta. Ari Rama kalah cangcaya, kagungan maksad ngaduruk pupujan kalbu. Atanapi, dina carpon Murang-Maring, sim uing ngalalakonkeun Pandawa nu démonstrasi ka rahayatna, pédah rahayat sarenang ari aranjeunna, salaku pamaréntah, ripuh balas didaramel janten abdi nagara. Rupi-rupi réaksi nu kantos maos. Aya nu nyebat réh sim uing ngaruksak carita wayang. Aya ogé nu nyebatkeun éta téh dékonstruksi, postmo, salah sawios aliran pilsapat miwah seni nu mahabu di urang di awal taun salapan puluhan. Tur padahal sim uing mah ngarangna téh ti taun juh puluhan ahir kénéh.

Lantaran sim uing kagégéloan ku wayang, nya teu anéh mun galindeng Dalang teu weléh kapireng tug dugi ka cetuk huis kieu. Nya kitu, sok pirajeunan gumerendeng nurutan Dalang. Béh dieu, kabeneran sim uing sok dihiras maca sajak Sunda di luar Pasundan, di kalangan para pamiarsa nu teu mantra-mantra kana basa Sunda. Upamina di payuneun urang Jawa, Bali, atanapi urang mancanagara. Kapaksa sim uing mikir, kumaha carana sangkan sajak Sunda kalandep ku arinyana, sok sanajan teu ngartos kana basana. Nya ngajaran maca sajak bari maké lentong Dalang, dadalangan Sanajan teu ngartos kana basa Sunda, ari dibaca bari ngagalindeng, gegereman, nurutan Dalang mah teu burung wé pada ngabandungan. Careuleumeut. Duka resep kana sajakna, duka hariwang pédah penampilan sim uing sed saeutik ti tukang teluh. Duka tah.

Cindekna, sim uing mah rumaos pisan kahutangan budi ku wayang. Mun seug keur budak teu kungsi wanoh kana wayang, tangtos bakal séjén nu karandapan. Duka bakal kumaha teuing jantenna sajak-sajak, carpon-carpon, fikmin-fikmin sim uing.. ***

Kenging : Godi Suwarna dina Fiksimini Basa Sunda 
9:00:00 AM
thumbnail

Parigeuing Gaya Kapamimpinan (LEADERSHIP) Prabu Siliwangi

Posted by NURDANI on Sunday, October 28, 2012



Kapamingpinan dina masarakat Sunda, nurutkeun Naskah Kuna Sanghiyang Siksa Kandang Karesian. Ieu naskah kuna teh asli titinggal karuhun Sunda taun 1518 Masehi (Prabu Siliwangi/ Jayadewata pupusna taun 1521 Masehi) anu disundakeun deui kana basa ayeuna ku Drs. Saleh Danasasmita 1985. Ari aksarana ngagunakeun aksara “Ratu Pakuan”, lain Cacarakan. Basana Basa Sunda Buhun.
Dina naskah Kuna ieu teh aya palanggeran, tuduh laku tatakrama pikeun jadi pamingpin di masarakat jaman harita. Sanajan kitu eta palanggeran teh tetep gede gunana pikeun jadi palanggeran pamingpin Sunda jaman ayeuna. Eta palanggeran teh disebut PARIGEUING.

A. PARIGEUING

Dina Basa Sunda jaman abad ka 15/16 masehi, disebutkeun yen Parigeuing teh nya eta : “Parigeuing mah ngaranna : bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawangi, nya mana hanteu surah nu dipiwarang”. Upama ku basa Sunda jaman ayeuna mah hartina : “Nu disebut Parigeuing teh nyaeta bisa marentah bisa miwarang ku caritaan nu pikagenaheun tepi ka teu matak jengkel nu diparentahna”.

B. DASA PASANTA

Pikeun bisa ngalaksanakeun Parigeuing teh carana kudu bisa ngalaksanakeun heula Dasa Pasanta (hartina Sapuluh Panengtrem Hate). Maksudna kumaha carana pikeun nengtremkeun hate jelema nu diparentah supaya dina digawena teh iklas tur sumangetna ngagedur.
Ari panengtrem hate anu sapuluh rupa teh nyaeta:
  1. Guna. Tegesna jelema nu diparentah teh kudu ngarti-eun naon gunana tina nu diparentahkeun teh.
  2. Ramah. Parentah kudu ditepikeun kalawan wajar jeung sareh, ramah tamah, amis budi. Bakal ngarasaeun dihargaan sabage manusa nu boga ajen pribadina.
  3. Hook. Hookeun (B.Ind: kagum). Parentah karasana saperti gambaran hookeunana (kekaguman) kana kabisana (kamampuh) nu diparentahna.
  4. Pesok. Hartina kapikat hatena (reueus). Jadi parentah kudu ditepikeun ku cara nu matak kapikat hate, nu nimbulkeun rasa reueus dina dirina.
  5. Asih. Nyaeta rasa nyaah. Tepi ka karasaeun yen dirina teh lir ibarat babagian tina diri nu marentahna. Jadi milu tanggungjawabna teh bari gembleng hate.
  6. Karunia/Karunya. Tegesna parentah karasaeunana saperti rasa kanyaah (karunya) jeung oge mangrupa kurnia kapercayaan kana kamampuh dirina.
  7. Mukpruk. Tegesna kudu bisa ngalelemu. Tepi ka ngarasa yen digawe teh lain kapaksa, tapi geus jadi tugasna.
  8. Ngulas. Ayeuna dina Basa Indonesia disebut mengulas. Tegesna kudu bisa mere komentar (ulasan) kana pagawean bawahan ku cara nu surti tur lantip.
  9. Nyecep. Tegesna bisa niiskeun pikir nu diparentah, supaya genaheun pikirna. Boh ku lisan komo bari aya lar barangberena mah.
  10. Ngala angen. Nyaeta bisa narik simpati bawahan. Carana ku ngantengkeun silaturahmi nu wajar. Bakalna timbul rasa satia (loyal) ka pamingpinna.
C. PANGIMBUHNING TWAH

Jaba ti Parigeung jeung Dasa Pasanta teh, dina naskah eta keneh aya nu disebut Pangimbuhning Twah, nyaeta pituduh tatakrama hirup kumbuh sapopoe, sangkan manusa hirupna teh boga pamor (B.Ind: bertuah). Upama disundakeun ayeuna mah hartina teh Pangjangkep Pikeun Boga Pamor.
Aya 12 pangjangkep tatakrama nu kudu dicumponan ku unggal jelema teh nyaeta:
  1. Emet. Tegesna digunakeun saeutik-saeutik (saemet-emet) supaya kapakena. Hartina henteu konsumtif.
  2. Imeut. Tegesna taliti euweuh nu kaliwat (B.Ind: cermat).
  3. Rajeun. Saharti jeung rajin. Bisa ngamangpaatkeun waktu.
  4. Leukeun. Saharti jeung junun, suhud (B. Ind : tekun). Bakalna teh tepi ka nu dimaksud jeung loba hasilna.
  5. Pakapradana. Bisa dihartikeun sonagar, wanter. Bisa oge dihartikeun pantes barangpakena.
  6. Morogol-rogol. Hartina boga karep pikeun maju, gede sumanget, henteu elehan. Ulah soteh murugul, nyaeta sipat jelema nu hayang meunang sorangan.
  7. Purusa ning Sa. Hartina boga jiwa pahlawan. Wani nangtung panghareupna dina aya kasulitan. Tara nyalahkeun batur. Gede rasa tulung tinulungna.
  8. Widagda. Tegesna wijaksana. Pikiran jeung rasana (rasio katut rasana) bakal saimbang. Mikirna bisa cekas tur adil.
  9. Gapitan. Hartina wani bakorban pikeun kayakinan dirina.
  10. Karawaleya. Tegesna balabah (B.Ind: dermawan), resep tulung tinulungan.
  11. Cangcingan. Ayeuna sok disebut cingceung, tangginas (B.Ind : gesit).
  12. Langsitan. Bisa dihartikeun rapekan, terampil, binangkit, binekas. Ceuk basa ayeuna mah loba niley pleusna.
Tapi aya 4 pasipatan (tatakrama nu teu hade, anu non etis), nu dipahing ku para luluhur Urang Sunda, diebutna PAHARAMAN nyaeta:
  1. Pundungan. Ayeuna oge istilah pundungan dipiwanoh keneh. Moal boga sobat. Hirupna moal maju.
  2. Babarian. Ayeuna mah sok disebut gampang kasigeung (B.Ind: mudah tersinggung). Moal boga sobat. Hese maju. Hese meunang pitulung.
  3. Humandeuar. Aieu teh kaasup pasipatan nu kacida gorengna. Tanda hengker jiwana. Teu mampuh nyanghareupan kasulitan.
  4. Kukulutus. Ieu mah pasipatan anu panggoreng-gorengna, kitu ceuk karuhun baheula. Hirup bakal munapek. Beungeut nyanghareup ati mungkir, bengkok sembah ngijing sila. Digawena puraga tamba kadengda. Kasatianana saeutik pisan. Bisa ngahianat ka dunungan atawa ka babaturan.
Dicatut ti sundanet.com
12:38:00 AM