-->

Misteri Bebegig SukamantriDalam Festival Bebegig Nusantara 2017

Posted by NURDANI on Monday, July 31, 2017

Oleh : Didon Nurdani
Saya bukan pituin Sukamantri, juga bukan pelaku kesenian Bebegig. Hanya saja saya sedikit tahu dan pernah menyaksikan langsung meskipun hanya sekali dua kali, bagaimana kawan-kawan pelaku seni helaran bebegig berjuang dengan penuh keiklahasan untuk menghidupkan (ngahirup-huripkeun) Kesenian Bebegig, bersimbah peluh mempersiapkan kostum dari bahan-bahan yang tidak bisa dijumpai disetiap tempat, yang begitu memukau ketika dikenakan. Pada saat helaran tiba, kemudian kita hanya tinggal pose dengan berbagai gaya untuk selfi dengan Bebegig, dan bila sempat mengucapkan terimakasih, kemudian diunggah di media social dan memasang caption seenak kita.
Festival Bebegig Nusantara 2017 dalam rangkaian Hari Jadi Kabupaten Ciamis ke – 375 telah usai digelar, Minggu 23 Juli 2017. Event terselenggara dengan meriah, menghadirkan berbagai bentuk kesenian yang berkembang di Kabupaten Ciamis, diantaranya Rajah Galuh, pencak silat, terutama mengusung kesenian helaran Bebegig Sukamantri. Lebih dari 100 buah topeng Bebegig Sukamantri dihadirkan. Festival dipungkas dengan penampilan Setia Band.
Festival Bebegig Nusantara 2017 atas prakarsa Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif patut diacungi jempol. Karena ini merupakan upaya nyata pengakuan dan revitalisasi Seni Helaran Bebegig Sukamantri sebagai ikon seni dan budaya di Kabupaten Ciamis.
Catatan prestasi dari seni helaran ini telah berkali-kali mengharumkan Ciamis di level regional maupun nasional. Bebegig Sukamatri yang dimotori oleh pelaku-pelaku seni bebegig dari komunitas seni Baladdewa pada tahun 2016 telah mengukuhkan diri sebagai Juara I tingkat Nasional Festival Kemilau Nusantara.
Jadi sudah selayaknya jika Festival Bebegig Nusantara 2017 digelar dengan dukungan penuh oleh pemerintah Kabupaten Ciamis. Ini merupakan momentum aktualisasi Bebegig di daerah asalnya, setelah bebegig diakui dan selalu diundang pada acara-acara helaran di kabupaten-kota di Jawa Barat hingga Bali. Sebuah pengakuan dan penghargaan dari orang tuanya “pituin” di rumahnya sendiri.
Ini menjadi “kareueus” bagi saya sebagai warga biasa yang kebetulan suka dengan kesenian. Terus terang, ini menjadi harapan besar dan juga ekspektasi yang begitu “wah !” ketika membaca tajuknya.
Betapa hal ini bisa jadi sebuah pijakan besar, sebidang fondasi kuat untuk perkembangan kesenian dan kebudayaan khususnya seni helaran Bebegig Sukamantri.
Hanya saja, dalam event ini, atmosfir seni bebegig kurang begitu terasa. Satu hal yang patut disayangkan adalah tidak adanya helaran yang dilakukan oleh kelompok Bebegig. Biasanya Seni Bebegig melakukan helaran mengelilingi kota diiringi dengan dugig yaitu tabuhan khas para nayaganya. Silih berganti dengan bunyi kolotok, gesekan bubuay, hahapaan serta daun waregu. Interaksi sosok menyeramkan tapi mengundang penasaran, bercengkrama langsung dengan masyarakat yang dijumpai ditengah perjalanan helaran, adalah sebuah peristiwa hidup dan dihidupkannya Bebegig Sukamantri.
Tapi hal itu tidak terjadi. Dan tentu masih banyak lagi hal yang tidak terjadi dalam setiap peristiwa helaran Bebegig.
Terlebih lagi, dari pelaksanaan Festival Bebegig Nusantara 2017, kurangnya upaya sosialisasi kepada masyarakat tentang apa sesungguhnya sosok Bebegig, bagaimana sejarahnya dan apa latar belakang serta manfaat yang dirasakan dengan kehadiran sosok Bebegig ini.
Memang ada pagelaran di panggung dengan cerita yang cukup memberikan informasi tentang apa, bagaimana serta sejarah & perkembangan kesenian Bebegig Sukamantri. Namun itu terlalu sederhana. Bebegig Sukamantri harusnya jadi “panganten”. Kokojo, aura dominan, bintang panggung yang menjadi perhatian utama. Bahkan sounding oleh MC atau ditayangkan profile singkatnya di big screen yang jadi latar belakang panggung megah dan gemerlap pun dirasa tidak maksimal.
Jika tidak cukup waktu persiapan karena memang perlu produksi yang tidak sederhana, kenapa tidak sekalian saja panggil tokoh-tokoh yang menjadi penggerak dan pelaku kesenian Bebegig Sukamatri ke atas panggung untuk menerangkan dialog langsung dengan masyarakat ?
Bukankah itu lebih efisien ?
Selebihnya keberadaan topeng hanya menjadi set dekor dengan pencahayaan yang minim. Bahkan keberadaanya kalah jauh berperan daripada penempatan speaker soundsystem.
Interpretasi awam ketika mendengar kata “Bebegig” yang tergambar dibenak saya adalah orang-orangan sawah. Kemudian ketika melihat sosoknya ternyata begitu menyeramkan. Sederhananya adalah sosok “hantu” atau Jurig. Tapi anehnya sosok menyeramkan tersebut justru bisa berinteraksi mesra dengan masyarakat ?
Ini menjadi masalah yang cukup berpengaruh ketika kesenian Bebegig memang benar-benar diharapkan sebagai ikon seni & budaya di Kabupaten Ciamis dan di usung dalam Festival (yang rencananya) digelar tahunan dengan judul semegah ini.
Bagaimana bisa sesuatu yang kadung dianggap buruk dijadikan ikon ?
Interpetasi seperti inilah yang perlu segera diluruskan. Mungkin sudah banyak sumber-sumber yang terunggah di internet dan teraktualisasi di media massa. Sudah banyak fihak yang tahu, bahkan faham betul dengan Bebegig Sukamantri. Kenapa tidak dijadikan rujukan ?
Eksistensi bebegig masih sangat perlu untuk digali dan disosialisasikan kepada masyarakat. Tentu hal ini perlu dilakukan untuk mempertebal pengakuan dan rasa memiliki masyarakat Ciamis sehingga Sosok Bebebig Sukamantri benar-benar menjadi ikon Ciamis yang sejati.
Dan akhirnya, tulisan ini semoga menjadi apresiasi positif, setidaknya menjadi bahan perenungan kita semua yang merasa kesenian dan kebudayaan bermanfaat dalam kehidupan dan meningkatkan “ajen” masyarakat dan pemerintahan Kabupaten Ciamis.
Semoga Festival Bebegig Nusantara bisa terus digelar ( apanjang-apunjung ), “teu ngabuntut bangkong”, dan Bebegig Sukamantri benar-benar menjadi ikon seni & budaya di Kabupaten Ciamis.

Previous
« Prev Post

Related Posts

1:42:00 PM

0 komentar:

Post a Comment